Makalah Hukum Perdata - HUKUM WARIS
Makalah : Hukum Perdata
HUKUM
WARIS
DI
S
U
S
U
N
OLEH :
NAMA : FADHLURRAHMAN
HASAN
NIM : 150104082
JURUSAN : HUKUM
PIDANA ISLAM
DOSEN PEMBIMBING : BADRI, S.HI., M.H
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM – BANDA ACEH
2016
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat
Allah SWT Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat dan atas
segala limpahan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini sesuai dengan waktu yang telah direncanakan.
Shalawat serta salam
semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW beserta
seluruh keluarga dan sahabatnya yang selalu membantu perjuangan beliau dalam
menegakkan Dinullah di muka ini.
Dalam
penulisan ini, tentunya banyak pihak yang telah memberikan bantuan baik moril
maupun materil. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
yang tiada hingga kepada rekan dan teman yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini.
Penulis menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka saran dan kritik yang
konstruksif dari semua pihak sangat diharapkan demi penyempurnaan selanjutnya.
Hanya kepada Allah SWT
kita kembalikan semua urusan dan semoga makalahg ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak, khususnya bagi penulis dan para pembaca pada umumnya, semoga Allah
meridhoi dan dicatat sebagai ibadah disisi-Nya, amin.
Banda Aceh, Juni 2016
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
A. Latar Belakang................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah........................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan............................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 3
A. Pengertian Hukum
Waris dan Pengaturan Hukum Waris............... 3
B. Asas, Prinsip dan
Unsur Kewarisan................................................ 3
C. Mewaris Berdasarkan
UU dan Wasiat............................................ 5
D. Penggolongan Ahli
Waris............................................................... 8
E. Bagian Anak Luar
Kawin............................................................... 9
F. Bentuk dan Isi
Wasiat................................................................... 10
G. Legitieme Portie............................................................................ 13
BAB III PENUTUP......................................................................................... 15
A. Kesimpulan .................................................................................. 15
B. Saran............................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 16
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di
negara kita RI ini, hukum waris yang berlaku secara nasioal belum terbentuk,
dan hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh
masyarakat Indonesia, yakni hulum waris yang berdasarkan hukum Islam, hukum
Adat dan hukum Perdata Eropa (BW). Hal ini adalah akibat
warisan hukum yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda
dahulu.
Kita
sebagai negara yang telah lama merdeka dan berdaulat sudah tentu mendambakan
adanya hukum waris sendiri yang berlaku secara nasional (seperti halnya hukum
perkawinan dengan UU Nomor 2 Tahun1974), yang sesuai dengan bangsa Indonesia
yang berfalsafah Pancasila dan sessuai pula dengan aspirasi yang benar-benar
hidup di masyarakat.
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata
secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum
waris erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap
manusia akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian mengakibatkan
masalah bagaimana penyelesaian hak-hak dan kewajiban . Sebagaimana telah diatur
dalam Kitab Undang-undang Hukup Perdata (KUHPerdata) buku kedua tentang
kebendaan dan juga dalam hukum waris Islam, dan juga hukum waris adat.
Pada prinsipnya kewarisan adalah langkah-langkah penerusan dan
pengoperaan harta peninggalan baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud
dari seorang pewaris kepada ahli warisnya. maksudnya dari pewaris ke ahli
warisnya. Akan tetapi di dalam kenyataannya prose serta langkah-langkah
pengalihan tersebut bervariasi, dalam hal ini baik dalam hal hibah, hadiah dan
hibah wasiat. ataupun permasalahn lainnya . Disini penulis akan sedikit
memaparkan bagaimana hukum kewarisan dalam persfektif hukum perdata barat
KUHPedata(BW), hukum waris Islam dan Hukum adat.
B. Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah pada makalah ini adalah :
1. Apa pengertian
dan pengaturan hukum waris?
2.
Apa saja asas, prinsip dan unsur
kewarisan?
3.
Bagaimana mewaris berdasarkan UU dan
wasiat?
4.
Bagaimana penggolongan ahli waris?
5.
Apa saja bagian anak luar kawin?
6.
Bagaimana bentuk dan isi wasiat?
7.
Apa yang dimaksud dengan legitieme
portie?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini
yaitu agar kita semua dapat mengetahui dan memahami bagaimana pengertian hukum waris
dan pengaturan hukum waris, asas, prinsrip dan unsur kewarisan, mewaris
berdasarkan UU wasiat, penggolongan ahli waris, bagian anak luar kawin, bentuk
dan isi wasiat, serta legitieme portie, sehingga kita dapat mengambil
kesimpulan juga menerapkan ilmunya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hukum Waris dan Pengaturan Hukum
Waris
Hukum waris ( erfrecht ) yaitu
seperangkat norma atau aturan yang mengatur mengenai berpindahnya atau
beralihnya hak dan kewajiban ( harta kekayaan ) dari orang yang meninggal dunia
( pewaris ) kepada orang yang masih hidup ( ahli waris) yang berhak
menerimanya. Atau dengan kata lain, hukum waris yaitu peraturan yang mengatur
perpindahan harta kekayaan orang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa
orang lain.[1]
Menurut Mr. A. Pitlo, hukum waris yaitu
suatu rangkaian ketentuan – ketentuan, di mana, berhubung dengan meninggalnya
seorang, akibat- akibatnya di dalam bidang kebendaan, diatur, yaitu : akibat
dari beralihnya harta peninggalan dari seorang yang meninggal, kepada ahli
waris, baik di dalam hubungannya antara mereka sendiri, maupun dengan pihak
ketiga.
B.
Asas, Prinsip dan
Unsur Kewarisan
1.
Asas Kewarisan
Dalam hukum waris menurut BW memiliki asas-asas antara
lain[2]:
a. Hanyalah
hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja
yang dapat diwariskan.
b. Apabila
seseorang meninggal, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih
pada ahli warisnya.
Menurut Pasal 830 BW diseutkan adanya asaa kematian
artinya hanya karena kematian kewarisan dapat tejadi. Selanjutnya dalam hukum
waris BW dikenal 3 (tiga) sifat yang dianut, antara lain:
1) Sifat
individual adalah suatu asas dimana yang menjadi ahli waris adalah perorangan
bukan kelompok ahli, waris dan kelompok klan, suku atau keluarga.
2)
Sifat bilateral artinya bahwa
seseorang tidak hanya mewarisi dari bapak saja, tetapi juga dari ibu, demikian
juga saudara laki-laki mewarisi dari saudara laki-lakinya, mapun saudara
perempuan.
3)
Sifat perderajatan artinya ahli
waris yang derajatnya dekat denga sipewaris menutup ahli waris yang lebih jauh
derajatnya, maka untuk memermudah perhintungan diadakan
penggolongan-penggolongan ahli waris.
2.
Prinsip Kewarisan
Prinsip pewarisan menurut KUHPerdata adalah hubungan darah. Yang berhak
mewaris adalah yang punya hubungan darah, kecuali suami/isteri pewaris (lihat Pasal 832 KUHPerdata). [3]
Sedangkan, yang berhak mewaris menurut hukum Islam
berdasarkan Pasal 171 huruf c Kompilasi
Hukum Islam, yaitu mereka yang[4]:
a.
Mempunyai hubungan darah dengan
pewaris,
b.
Mempunyai hubungan perkawinan
(dengan pewaris),
c.
Beragama Islam,
d.
Tidak dilarang Undang-Undang
selaku ahli waris
Dengan demikian berdasarkan uraian di atas, Anda tidak
berhak mewarisi harta peninggalan dari almarhum ibu tiri Anda, namun demikian,
Anda berhak untuk mewarisi harta peninggalan ayah kandung Anda jika beliau
meninggal dunia.
Sedangkan, jika ayah kandung dan ibu tiri sama-sama
meninggal dunia, maka ada 2 orang pewaris. Dalam terjadi hal tersebut, maka
harus ditetapkan siapa meninggal dunia terlebih dahulu. Karena perhitungan
waris terjadi pada saat warisan terbuka; yaitu pada saat pewaris tersebut
meninggal dunia. Yang meninggal kemudian merupakan ahli waris dari yang
meninggal terlebih dahulu. Kecuali ayah kandung dan ibu tiri Anda tersebut
meninggal secara bersama-sama, maka antara keduanya tidak saling mewaris.
3.
Unsur Kewarisan
Di dalam
membicarakan hukum waris maka ada 3 hal yang perlu mendapat perhatian, di mana
ketiga hal ini merupakan unsur – unsur pewarisan :
a. Orang yang
meninggal dunia / Pewaria / Erflater
Pewaris
ialah orang yang meninggal dunia dengan meningalkan hak dan kewajiban kepada
orang lain yang berhak menerimanya. Menurut pasal 830 BW, pewarisan hanya
berlangsung karena kematian. Menurut ketentuan pasal 874 BW, segala harta
peninggalan seorang yang meninggal dunia adalah kepunyaan sekalian ahli
warisnya menurut undang – undang sekedar terhadap itu dengan surat wasiat tidak
telah diambil setelah ketetapan yang sah. Dengan demikian, menurut BW ada dua
macam waris :
Hukum waris
yang disebut pertama, dinamakan Hukum Waris ab intestato (tanpa wasiat). Hukum
waris yang kedua disebut Hukum Waris Wasiat atau testamentair erfrecht.
b. Ahli waris
yang berhak menerima harta kekayaan itu / Erfgenaam
Ahli waris
yaitu orang yang masih hidup yang oleh hukum diberi hak untuk menerima hak dan
kewajiban yang ditinggal oleh pewaris. Lalu, bagaiman dengan bayi yang ada
dalam kandungan ?. Menurut pasal 2 BW, anak yang ada dalam kandungan dianggap
sebagai telah dilahirkan bilamanakeperluan si anak menghendaki. Jadi, dengan
demikian seorang anak yang ada dalam kandungan, walaupun belum lahir dapat
mewarisi karena dalam pasal ini hukum membuat fiksi seakan – akan anak sudah
dilahirkan.
C.
Mewaris Berdasarkan
UU dan Wasiat
1. Mewaris Berdasarkan Undang – Undang
a. Atas Dasar Kedudukan Sendiri
Penggolongan ahli waris berdasarkan garis keutamaan[5]
1)
Golongan I (Pasal 852
– 852 a KUHPer) : Adalah Suami/isteri dan semua anak serta
keturunannya dalam garis lurus kebawah
2)
Golongan
II (Pasal 855
KUHPer) : Orangtua dan saudara – saudara pewaris
3)
Golongan
III (Pasal 850
jo 858 KUHPer) : Kakek nenek, baik dari pihak ayah maupun ibu
4)
Golongan
IV (Pasal 858
s.d 861 KUHPer) : Kerabat pewaris dalam garis menyamping sampai
derajat keenam
b.
Berdasarkan
Penggantian
Syarat penggantian : orang yang digantikan telah
meninggal terlebih dahulu dari pewaris
Macam – macam penggantian :
1) Dalam garis
lencang kebawah tanpa batas (Pasal 842 KUHPer)
2) Dalam garis
menyamping ; saudara digantikan anak – anaknya (Pasal 844 KUHPer)
3) Penggantian
dalam garis ke samping dalam hal ini yang tampil adalah anggota keluarga yang
lebih jauh tingkat hubungannya daripada saudara, misalnya paman, bibi atau
keponakan
Harta Peninggalan Tak Terurus
Pasal 1126 KUHPer :
Harta peninggalan tak terurus jika :
·
tidak ada yang tampil sebagai
ahli waris
·
Semua ahli waris menolak
Pasal 1127 KUHPer
Demi hukum, BHP wajib mengurus harta tersebut pada saat awal pengurusannya
harus memberitahu kejaksaan
Pasal 1128 KUHPer
Kewajiban BHP :
1.
Dalam hal dianggap perlu, menyegel
Harta Peninggalan (HP)
2.
Membuat daftar tentang HP
3.
Membayar hutang pewaris
4.
Menyelesaikan Legaat
5.
Membuat pertanggungjawaban
Pasal 1129 KUHPer
Lewat jangka waktu 3 tahun terhitung mulai terbukanya warisan, tidak ada
ahli waris yang tampil, BHP harus membuat perhitungan penutup pada negara “Negara
berhak menguasai harta peninggalan”
2. Mewaris berdasarkan Testamen (Wasiat)
Di dalam KUHPerdata mengenal
peraturan wasiat ini dengan nama Testament.Pasal 875 BW mengartikan surat
wasiat adalah suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang
dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia dan dapat dicabut
kembali[6].
Untuk kata wasiat dapat juga
dipergunakan “ amanat terakhir “ dalam arti apa yang dikehendakinya akan
berlaku sesudah ia meninggal dunia sesuai dengan apa yang ia tetapkan.
Salah satu ciri dan sifat yang
terpenting dan khas dalam surat wasiat yaitu surat – surat wasiat selalu dapat
ditarik kembali oleh si pembuatnya, hal ini disebabkan tindakan membuat surat
wasiat adalah merupakan perbuatan hukum yang sifatnya sangat pribadi. Hal ini
berarti bahwa perbuatan ini tidak dapat disuruh ia lakukan oleh seseorang
wakil.
Arti Testamen (Pasal 875 KUHPer), suatu akta
yang memuat tentang apa yang dikehendaki terhadap harta setelah ia meninggal
dunia dan dapat dicabut kembali
Unsur – Unsur Testament
a. Akta
b. Pernyataan
kehendak
c. Apa yang
akan terjadi setelah ia meninggal terhadap akta
d. Dapat
dicabut kembali
Syarat membuat Testament
a.
Dewasa
b.
Akal sehat
c.
Tidak dapat pengampuan
d.
Tidak ada unsur paksaan, kekhilafan,
kekeliruan
e.
Isi harus jelas
Isi Testament
a.
Erfstelling (Pasal 954 KUHPer)
Testamentair erfgenaam
b.
Legaat (Pasal 957 KUHPer)
Legetaris
c.
Codicil (tidak berhubungan dengan
harta)
Pencabutan Testament
a.
Secara tegas, jika dibuat wasiat
baru yang isinya mengenai pencabutan surat wasiat
b.
Secara diam – diam, dibuat testament
baru yang memuat pesan – pesan yang bertentangan dengan testament lama
D.
Penggolongan Ahli
Waris
Ahli waris adalah
sekumpulan orang atau seorang atau individu atau kerabat-kerabat atau keluarga
yang ada hubungan keluarga dengan simeninggal dunia dan berhak mewarisi atau
menerima harta peninggalan yang ditinggal mati oleh seseorang (pewaris).
Menurut Pasal 832 pasal ini mengandung prinsip dalam hukum waris ab intestate
yaitu ysng berhak mewarisi adalah:
Keluarga sedarah
dan istri (suami) yang hidup, dan jika semuanya ini tidak ada, maka yang berhak
mewarisi ialah negara. Mengenai keluarga sedarah dan istri (suami) yang hidup
paling lama, dapat diadakan 4 golongan yaitu:
1.
Anak, atau keturunanya
dan janda atau duda.
2.
Orang tua (bapak atau
ibu), saudara-saudara atau keturunannya.
3.
Nenek dan kakek, atau
leluhur lainnya di dalam genus ke atas.
4.
Sanak keluarga di dalam
garis ke samping sampai tingkat ke-6.
Kalau semuanya
itu tidak ada, maka negara menjadi waris. Pasal-pasal yang berikut ini
menetapkna jumlah jumlah bagian warisan bagi tiap-tiap golongan[7].
a.
Golongan 1, Pasal
852:
Seorang anak biarpun dari perkawinan yang
berlain-lainan atau waktu kelahiran, laki atau perempuan mengandung bagian yang
sama.
b.
Golongan 2, Pasal 854 :
Jika golongan 1 tidak ada, maka yang berhak mewaris ialah bapak, ibu, dan saudara.
c.
Golongan 3, Pasal 853
ayat 1:
Jika waris golongan 1 dan garis golongan 2 tidak ada ,
maka warisan dibelah menjadi dua bagian yang sama.
d.
Golongan 4, Pasal 858
ayat 2
Kalau waris golongan 3 tidak ada maka bagian yang
jatuh pada tiap garis sebagai tersebut dalam 853 dan 858 ayat 2 , warisan jatuh
pada seorang waris yang terdekat pada tiap garis.
E.
Bagian
Anak Luar Kawin
Anak luar
perkawinan, yaitu anak yang telah dilahirkan sebelum kedua suami istri itu
menikah atau anak yang diperoleh salah seorang dari suami atau istri dengan
orang lain sebelum mereka menikah. Anak luar perkawinan ini terbagi atas[8]
:
1.
Anak yang disahkan, yaitu anak yang dibuahkan atau dibenihkan di
luar perkawinan, dengan kemudian menikahnya bapak dan ibunya akan menjadi sah,
dengan pengakuan menurut undang – undang oleh kedua orang tuanya itu sebelum
pernikahan atau atau dengan pengakuan dalam akte perkawinannya sendiri.
2.
Anak yang diakui, yaitu dengan pengakuan terhadap seorang anak di
luar kawin, timbullah hubungan perdata antara si anak dan bapak atau ibunya tau
dengan kata lain, yaitu anak yang diakui baik ibunya saja atau bapaknya saja
atau kedua – duanya akan memperoleh hubungan kekeluargaan dengan bapak atau ibu
yang mengakuinya. Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat dilakukan dalam akte
kelahiran anak atau pada saat perkawinan berlangsung atau dengan akta autentik
atau dengan akta yang dibuat oleh catatan sipil.
Menurut
pasal 693, hak waris anak yang diakui; 1/3 bagian sekiranya ia sebagai anak
sah, jika ia mewaris bersama – sama dengan ahli waris golongan pertama, ½ dari
harta waris jika ia mewaris bersama – sama dengan golongan kedua, ¾ dari harta
waris jika ia mewaris bersama dengan sanak saudara dalam yang lebih jauh atau
jika mewaris dengan ahli waris golongan ketiga dan keempat, mendapat seluruh
harta waris jika si pewaris tidak meninggalkan ahli wari yang sah.
Jika anak
diakui ini meninggal terlebih dahulu, maka anak dan keturunannya yang sah
berhak menuntut bagian yang diberikan pada merka menurut pasal 863, 865.
3.
Anak yang tidak dapat diakui, terdiri atas; anak zina ( anak yang
lahir dari orang laki – laki dan perempuan, sedangkan salah satu dari mereka
itu atau kedua – duanya berada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain ),
anak sumbang ( anak yang lahir dari orang laki – laki dan perempuan, sedangkan
diantara mereka terdapat larangan kawin atau tidak boleh kawin karena masih ada
hubungan kekerabatan yang dekat. Untuk kedua anak ini tidak mendapatkan hak
waris, mereka hanya mendapatkan nafkah seperlunya.
Diakui Pasal 862 – 863 KUHPer[9]
1.
Bersama golongan I : 1/3 bagian anak
sah
2.
Bersama golongan II : ½ harta
peninggalan
3.
Bersama golongan III : ¾ harta
peninggalan
F.
Bentuk
dan Isi Wasiat
Didalam penjelasan Pasal 49 Ayat (c)
UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, yang dimaksud dengan wasiat adalah perbuatan seseorang memberikan suatu
benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/ badan hukum yang berlaku
setelah yang memberi tersebut meninggalkan dunia[10].
Perbuatan penetapan pesan terakhir
si wafat di Indonesia disebut dengan hibah wasiat, yang berasal dari
bahasa Arab dalam hukum agama Islam. Sedangkan dalam bahasa Belanda disebut testament,
yaitu suatu akta yang berisi pernyataan seseorang tentang apa yang terjadi
setelah ia meninggal, dan yang olehnya dapat ditarik kembali (lihat Pasal 875
BW). Dengan demikian maka tastement merupakan suatu akta / keterangan
yang dibuat sebagai pembuktian dengan campur tangan seorang pejabat resmi.[11]
Jike testament tersebut menetapkan penghibahan barang tertentu,
dipakailah sebutan legaat sedang sebutan erfstelling dipergunakan
untuk penghibahan semua harta warisan atau bagian tertentu (seperberapa) atas
harta warisan terhadap seseorang tertentu.[12]
1. Bentuk Wasiat
Bentuk wasiat dan pembatasannya,
secara umum, ada empat macam bentuk wasiat yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yaitu :
a.
Wasiat Rahasia (Geheim), yaitu
wasiat yang dibuat dengan dihadiri oleh 4 orang saksi. Wasiat tidak harus
ditulis tangan oleh (calon) pewaris, namun harus ditandatangani sendiri oleh
sipembuat wasiat disertai pernyataan bahwa kertas/ sampul itu berisi wasiatnya.
b.
Wasiat Umum (Openbaar Testament),
yaitu wasiat yang dibuat dihadapan notaris dan dua saksi (Pasal 938 BW). Dalam
wasiat tersebut, pembuat wasiat menyatakan kehendaknya menganai pembagian harta
miliknya.[13]
c.
Wasiat ditulis Sendiri (Olografis),
yaitu wasiat yang seluruhnya ditulis dan ditandatangani sendiri oleh sipembuat
wasiat (Pasal 932 Ayat 1 BW). Agar wasiat dapat diketahui secara umum, pembuat
wasiat membawa asli surat wasiat yang dibuat sendiri tersebut kehadapan notaris
untuk disimpan.
d.
Wasiat Darurat (Pasal 946, 947, dan
948 BW), yaitu wasiat yang dibuat oleh tentara (dalam keadaan perang) orang
yang sedang berlayar, atau orang yang sedang dikarantina karena penyakit
menular. Wasiat ini dibuat dihadapan atasanya karena sicalon pewaris dalam
keadaan sakaratul maut atau akan meninggal dunia. Namuk demikian, wasiat ini
sekarang sudah tidak dipakai lagi.[14]
Syarat-syarat bagi pembuat testament
menurut KUHPerdata, bagi pembuat testament ada disyaratkan hal-hal
sebagai berikut :
a.
Pasal 895 KUH Perdata menyebutkan
bahwa :
“untuk dapat
membuat atau mencabut surat wasiat, seseorang harus mempunyai budi akalnya”.
Jadi si pembuat testament tidak sedang dalam sakit ingatan atau sedang dalam
keadaan sakit begitu berat dan karena mana ia tidak dapat berfikir secara
teratur.
b.
Pembuat testament harus sudah genap
berusia 18 tahun, atau sudah menikah sebelum usia 18 tahun. Hal ini dimuat
dalam pasal 867 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut:
“para belum
dewasa yang belum mencapai umur genap delapan belas tahun, tak diperbolehkan
membuat surat wasiat”.
Apabila orang yang membuat wasiat
melanggar pasal 897 KUH Perdata, wasiat yang demikian dapat dimintakan
pembatalan oleh orangtua/wali dari orang yang belum dewasa tersebut. Pembatalan
dapat diminta pada waktu ia masih hidup atau pada waktu ia meninggal. Pasal 898
KUH pdt menyebutkan bahwa ditinjau dari kedudukan dalam mana ia berada, tatkala
surat wasiat dibuatnya.[15]
2.
Wasiat menurut
Isinya
Menurut isinya, maka ada 2 jenis wasiat :
a.
Wasiat yang berisi ” erfstelling ” atau wasiat pengangkatan waris.
Seperti disebut dalam pasal 954 wasiat pengangkatan waris, adalah wasiat dengan
mana orang yang mewasiatkan, memberikan kepada seorang atau lebih dari seorang,
seluruh atau sebagian ( setengah, sepertiga ) dari harta kekayaannya, kalau ia
meninggal dunia. Orang–orang yang mendapat harta kekayaan menurut pasal itu
adalah waris di bawah titel umum.
b.
Wasiat yang berisi hibah ( hibah wasiat ) atau legaat. Pasal 957
memberi keterangan seperti berikut : ” Hibah wasiat adalah suatu penetapan yang
khusus di dalam suatu testament, dengan mana yang mewasiatkan memberikan kepada
seorang atau beberapa orang; beberapa barang tertentu, barang – barang dari
satu jenis tertentu, hak pakai hasil dari seluruh atau sebagian dari harta
peninggalannya. Orang – orang yang mendapat harta kekayaan menurut pasal ini
disebut waris di bawah titel khusus.
G.
Legitierne
Portie
Legitieme Portie merupakan bagian dari harta
peninggalan yang harus diberikan kepada ahli waris yang berada dalam garis
lurus menurut undang-undang. Jadi legitimaris dalam hal ini hanya ahli waris
yang menurut undang-undang berada dalam garis lurus ke atas atau ke bawah.
Perhatikan kembali mengenai penggolongan ahli waris menurut KUH Perdata.[16]
Bertolak dari ketentuan Pasal 913 KUH Perdata, pewaris
tidak diperkenankan menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih
hidup maupun selaku wasiat. Adanya ketentuan mengenai legitieme portie ini
memang dimaksudkan agar ahli waris legitimaris terlindungi dan tidak dirugikan
apabila si pewaris hendak bertindak sewenang-wenang.
Hal Penting Terkait Legitieme
Portie
Legitieme portie harus selalu dituntut, jika
tidak dituntut maka tidak diperoleh legitieme portie. Apabila terdapat
lebih dari satu legitimaris, maka tidak saling mengikat. Setiap legitimaris
berhak untuk menuntut atau bahkan melepaskan legitieme portie nya
tanpa bersama-sama dengan legitimaris lainnya. Maksudnya dapat dicontohkan
sebagai berikut. Jika ada empat legitimaris, namun yang menuntut legitieme
portie hanya satu orang, maka yang akan mendapatkan legitieme portie hanya
yang menuntut tersebut. Begitu pula, jika hanya ada salah satu atau beberapa
yang melepaskan legitieme portie nya, maka yang lain tetap berhak jika
ingin menuntut legitieme portie nya. Yang perlu menjadi catatan
adalah, apabila pewaris mengangkat seorang ahli waris dengan wasiat untuk
seluruh harta peninggalannya, lalu ada legitimaris yang tidak menuntut bagian
mutlaknya, maka bagian legitimaris yang tidak menuntut tersebut tetap menjadi bagian
ahli waris yang ditunjuk menurut wasiat tersebut.
Penuntutan terhadap legitieme portie dapat
dilakukan terhadap segala macam pemberian yang telah dilakukan oleh si pewaris,
baik berupa erfstelling, hibah wasiat, atau hibah. Jika melihat
ketentuan Pasal 920 KUH Perdata, maka penuntutan terhadap legitieme portie
baru dapat dilakukan terhadap hibah atau hibah wasiat yang mengakibatkan
berkurangnya bagian mutlak dalam suatu harta peninggalan setelah warisan
terbuka.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perbandingan
waris dalam hukum waris islam, hukum perdata barat (BW, terdapat beberapa
persamaan dan perbedaan pengaturan waris. Dalam hal persamaan terdapat sepuluh
persamaan yaitu mengenai keadaan masyarakat dan pengaruh politik hukum terhadap
hukum waris, persamaan pengertian perwarisan, tujuan perwarisan, konsep harta
warisan harus sudah bersih, unsur-unsur pewarisan, sifat komulatif, sistematika
unsur, konsep harta, sistim pewarisan/pembagian, dan terbukanya warisan setelah
adanya kematian, namum tidak menutup kemungkinan masih ada hal-hal lain yang
sama dan masih belum dituliskan oleh penulis. Sedangkan untuk perbedaannya
terdapat 22 perbedaan hal itupun masih dirasa kurang oleh penulis.
Sedangkan
dalam Perbandingan Pengaturan Waris menurut Hukum Islam.Pengertian
pewarisan,Tujuan Pewarisan, Unsur-unsur pewarisan, Sifat kumulatif, Konsep
Harta, Sistim pewarisan/ pembagian, dan
terdapat 20 perbedaan.
Hal
ini menunjukkan bahwa dalam pengaturan waris di Indonesia terdapat
bermacam-macam pengaturan perwarisan, maka dari itu pemerintah menyerahkan
urusan perwarisan terserah pada hukum masing-masing golongan.
B.
Saran
Untuk
masalah waris di serahkan sepenuhnya pada hukum masing-masing golongan,
diharapkan dalam pembgian waris ini harus adil, meskipun adil itu berbeda-beda
pemahamannya.
Untuk
anggota keluarga yang bukan ahli waris seperti anak angkat, dan kerabat yang
lain diharapkan tetap mendapatkan warisan seperti dalam pengaturan dalam KHI
yaitu wasiat wajibah.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, Ali. 1997. Hukum Waris, Hukum Keluarga,
Hukum Pembuktian. Rineka Cipta, Jakarta.
Ahmad
Rafiq. 2000. Hukum Islam di Indonesia. Cet. Ke-4. PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta.
2001. Fiqh Mawaris. PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta
Muslich Maruzi, Pokok-Pokok
Ilmu Waris (Asas Mawaris), Semarang, 2010.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)
Tedjosaputro,
Liliana. 2006.Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Aneka
Ilmu Anggota Ikalpi. Semarang,
Wiryono
Projodikoro.1983. Hukum Warisan di Indonesia, Bandung: Sumur.
http://statushukum.com/hukum-waris-islam.html (diakses tanggal 14
Juni 2016)
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6967/warisan-dan-harta-gono-gini(diakses tanggal 14 Juni
2016)
[1]Affandi, Ali. Hukum Waris, Hukum
Keluarga, Hukum Pembuktian. Rineka Cipta, Jakarta. 1997. hlm. 20
[2]Muslich Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris (Asas
Mawaris), Semarang, 2010. hlm. 1
[4]Ibid,
[7]Ahmad Rafiq, Fiqh Mawaris, Jakarta
: PT RajaGrafindo Persada, 2001, hlm. 4
[8]Ahmad Rafiq, Fiqh Mawaris,
op. cit , hlm. 29
[9]Ahmad Rofiq, Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cet. Ke-4, 2000, hlm. 355
[10]Ahmad Rofiq, Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cet. Ke-4, 2000, hlm. 355
[11]ibid
[12]Muslich Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris (Asas
Mawaris), Semarang, t.th. hlm.1
[13]Wiryono Projodikoro, Hukum
Warisan di Indonesia, Bandung: Sumur, 1983. hlm.13
[14]Ahmad Rafiq, Fiqh Mawaris, Jakarta
: PT RajaGrafindo Persada, 2001, hlm. 4
[15]Ibid.,
[16]Tedjosaputro, Liliana.Hukum Waris
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Aneka Ilmu Anggota Ikalpi.
Semarang, 2006, hlm.290
Ijin download gan .
ReplyDeleteSalam blogger!! ( www.putsept.site )