Makalah Hukum Perdata - HUKUM WARIS

MAKALAH HUKUM PERDATA - HUKUM WARIS
Makalah : Hukum Perdata



HUKUM  WARIS


DI
S
U
S
U
N

OLEH :


NAMA               : FADHLURRAHMAN HASAN
NIM                   : 150104082
JURUSAN        : HUKUM PIDANA ISLAM

DOSEN PEMBIMBING : BADRI, S.HI., M.H






FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM – BANDA ACEH
2016




KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat dan atas segala limpahan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan waktu yang telah direncanakan.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW beserta seluruh keluarga dan sahabatnya yang selalu membantu perjuangan beliau dalam menegakkan Dinullah di muka ini.
Dalam penulisan ini, tentunya banyak pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tiada hingga kepada rekan dan teman yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka saran dan kritik yang konstruksif dari semua pihak sangat diharapkan demi penyempurnaan selanjutnya.
Hanya kepada Allah SWT kita kembalikan semua urusan dan semoga makalahg ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan para pembaca pada umumnya, semoga Allah meridhoi dan dicatat sebagai ibadah disisi-Nya, amin.

Banda Aceh,  Juni 2016
Penulis,




DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii

BAB I        PENDAHULUAN.............................................................................. 1
A.    Latar Belakang................................................................................ 1
B.     Rumusan Masalah........................................................................... 2
C.     Tujuan Penulisan............................................................................. 2

BAB II       PEMBAHASAN................................................................................. 3
A.    Pengertian Hukum Waris dan Pengaturan Hukum Waris............... 3
B.     Asas, Prinsip dan Unsur Kewarisan................................................ 3
C.     Mewaris Berdasarkan UU dan Wasiat............................................ 5
D.    Penggolongan Ahli Waris............................................................... 8
E.     Bagian Anak Luar Kawin............................................................... 9
F.      Bentuk dan Isi Wasiat................................................................... 10
G.    Legitieme Portie............................................................................ 13

BAB III     PENUTUP......................................................................................... 15
A.    Kesimpulan .................................................................................. 15
B.     Saran............................................................................................. 15

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 16



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Di negara kita RI ini, hukum waris yang berlaku secara nasioal belum terbentuk, dan hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh masyarakat Indonesia, yakni hulum waris yang berdasarkan hukum Islam, hukum Adat dan hukum Perdata Eropa (BW). Hal ini adalah akibat warisan hukum yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda dahulu.
Kita sebagai negara yang telah lama merdeka dan berdaulat sudah tentu mendambakan adanya hukum waris sendiri yang berlaku secara nasional (seperti halnya hukum perkawinan dengan UU Nomor 2 Tahun1974), yang sesuai dengan bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dan sessuai pula dengan aspirasi yang benar-benar hidup di masyarakat.
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian mengakibatkan masalah bagaimana penyelesaian hak-hak dan kewajiban . Sebagaimana telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukup Perdata (KUHPerdata) buku kedua tentang kebendaan dan juga dalam hukum waris Islam, dan juga hukum waris adat.
Pada prinsipnya kewarisan adalah langkah-langkah penerusan dan pengoperaan harta peninggalan baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari seorang pewaris kepada ahli warisnya. maksudnya dari pewaris ke ahli warisnya. Akan tetapi di dalam kenyataannya prose serta langkah-langkah pengalihan tersebut bervariasi, dalam hal ini baik dalam hal hibah, hadiah dan hibah wasiat. ataupun permasalahn lainnya . Disini penulis akan sedikit memaparkan bagaimana hukum kewarisan dalam persfektif hukum perdata barat KUHPedata(BW), hukum waris Islam dan Hukum adat.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah :
1.      Apa pengertian dan pengaturan hukum waris?
2.      Apa saja asas, prinsip dan unsur kewarisan?
3.      Bagaimana mewaris berdasarkan UU dan wasiat?
4.      Bagaimana penggolongan ahli waris?
5.      Apa saja bagian anak luar kawin?
6.      Bagaimana bentuk dan isi wasiat?
7.      Apa yang dimaksud dengan legitieme portie?

C.    Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu agar kita semua dapat mengetahui dan memahami bagaimana pengertian hukum waris dan pengaturan hukum waris, asas, prinsrip dan unsur kewarisan, mewaris berdasarkan UU wasiat, penggolongan ahli waris, bagian anak luar kawin, bentuk dan isi wasiat, serta legitieme portie, sehingga kita dapat mengambil kesimpulan juga menerapkan ilmunya.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hukum Waris dan Pengaturan Hukum Waris
Hukum waris ( erfrecht ) yaitu seperangkat norma atau aturan yang mengatur mengenai berpindahnya atau beralihnya hak dan kewajiban ( harta kekayaan ) dari orang yang meninggal dunia ( pewaris ) kepada orang yang masih hidup ( ahli waris) yang berhak menerimanya. Atau dengan kata lain, hukum waris yaitu peraturan yang mengatur perpindahan harta kekayaan orang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain.[1]
Menurut Mr. A. Pitlo, hukum waris yaitu suatu rangkaian ketentuan – ketentuan, di mana, berhubung dengan meninggalnya seorang, akibat- akibatnya di dalam bidang kebendaan, diatur, yaitu : akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seorang yang meninggal, kepada ahli waris, baik di dalam hubungannya antara mereka sendiri, maupun dengan pihak ketiga.

B.     Asas, Prinsip dan Unsur Kewarisan
1.      Asas Kewarisan
Dalam hukum waris menurut BW memiliki asas-asas antara lain[2]:
a.       Hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan.
b.      Apabila seseorang meninggal, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada ahli warisnya.
Menurut Pasal 830 BW diseutkan adanya asaa kematian artinya hanya karena kematian kewarisan dapat tejadi. Selanjutnya dalam hukum waris BW dikenal 3 (tiga) sifat yang dianut, antara lain:
1)      Sifat individual adalah suatu asas dimana yang menjadi ahli waris adalah perorangan bukan kelompok ahli, waris dan kelompok klan, suku atau keluarga.
2)      Sifat bilateral artinya bahwa seseorang tidak hanya mewarisi dari bapak saja, tetapi juga dari ibu, demikian juga saudara laki-laki mewarisi dari saudara laki-lakinya, mapun saudara perempuan.
3)      Sifat perderajatan artinya ahli waris yang derajatnya dekat denga sipewaris menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya, maka untuk memermudah perhintungan diadakan penggolongan-penggolongan ahli waris.

2.      Prinsip Kewarisan
Prinsip pewarisan menurut KUHPerdata adalah hubungan darah. Yang berhak mewaris adalah yang punya hubungan darah, kecuali suami/isteri pewaris (lihat Pasal 832 KUHPerdata). [3]
Sedangkan, yang berhak mewaris menurut hukum Islam berdasarkan Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam, yaitu mereka yang[4]:
a.       Mempunyai hubungan darah dengan pewaris,
b.      Mempunyai hubungan perkawinan (dengan pewaris),
c.       Beragama Islam,
d.      Tidak dilarang Undang-Undang selaku ahli waris
Dengan demikian berdasarkan uraian di atas, Anda tidak berhak mewarisi harta peninggalan dari almarhum ibu tiri Anda, namun demikian, Anda berhak untuk mewarisi harta peninggalan ayah kandung Anda jika beliau meninggal dunia.
Sedangkan, jika ayah kandung dan ibu tiri sama-sama meninggal dunia, maka ada 2 orang pewaris. Dalam terjadi hal tersebut, maka harus ditetapkan siapa meninggal dunia terlebih dahulu. Karena perhitungan waris terjadi pada saat warisan terbuka; yaitu pada saat pewaris tersebut meninggal dunia. Yang meninggal kemudian merupakan ahli waris dari yang meninggal terlebih dahulu. Kecuali ayah kandung dan ibu tiri Anda tersebut meninggal secara bersama-sama, maka antara keduanya tidak saling mewaris.
3.      Unsur Kewarisan
Di dalam membicarakan hukum waris maka ada 3 hal yang perlu mendapat perhatian, di mana ketiga hal ini merupakan unsur – unsur pewarisan :
a.       Orang yang meninggal dunia / Pewaria / Erflater
Pewaris ialah orang yang meninggal dunia dengan meningalkan hak dan kewajiban kepada orang lain yang berhak menerimanya. Menurut pasal 830 BW, pewarisan hanya berlangsung karena kematian. Menurut ketentuan pasal 874 BW, segala harta peninggalan seorang yang meninggal dunia adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang – undang sekedar terhadap itu dengan surat wasiat tidak telah diambil setelah ketetapan yang sah. Dengan demikian, menurut BW ada dua macam waris :
Hukum waris yang disebut pertama, dinamakan Hukum Waris ab intestato (tanpa wasiat). Hukum waris yang kedua disebut Hukum Waris Wasiat atau testamentair erfrecht.
b.      Ahli waris yang berhak menerima harta kekayaan itu / Erfgenaam
Ahli waris yaitu orang yang masih hidup yang oleh hukum diberi hak untuk menerima hak dan kewajiban yang ditinggal oleh pewaris. Lalu, bagaiman dengan bayi yang ada dalam kandungan ?. Menurut pasal 2 BW, anak yang ada dalam kandungan dianggap sebagai telah dilahirkan bilamanakeperluan si anak menghendaki. Jadi, dengan demikian seorang anak yang ada dalam kandungan, walaupun belum lahir dapat mewarisi karena dalam pasal ini hukum membuat fiksi seakan – akan anak sudah dilahirkan.

C.    Mewaris Berdasarkan UU dan Wasiat
1.      Mewaris Berdasarkan Undang – Undang
a.       Atas Dasar Kedudukan Sendiri
Penggolongan ahli waris berdasarkan garis keutamaan[5]
1)      Golongan I (Pasal 852 – 852 a KUHPer) :  Adalah Suami/isteri dan semua anak  serta keturunannya dalam garis lurus kebawah
2)      Golongan II (Pasal 855 KUHPer)  : Orangtua dan saudara – saudara pewaris
3)      Golongan III (Pasal 850 jo 858 KUHPer)  :  Kakek nenek, baik dari pihak ayah maupun ibu
4)      Golongan IV (Pasal 858 s.d 861 KUHPer)  :  Kerabat pewaris dalam garis menyamping sampai derajat keenam
b.      Berdasarkan Penggantian
Syarat penggantian : orang yang digantikan telah meninggal terlebih dahulu dari pewaris
Macam – macam penggantian :
1)      Dalam garis lencang kebawah tanpa batas (Pasal 842 KUHPer)
2)      Dalam garis menyamping ; saudara digantikan anak – anaknya (Pasal 844 KUHPer)
3)      Penggantian dalam garis ke samping dalam hal ini yang tampil adalah anggota keluarga yang lebih jauh tingkat hubungannya daripada saudara, misalnya paman, bibi atau keponakan
Harta Peninggalan Tak Terurus
Pasal 1126 KUHPer   :
Harta peninggalan tak terurus jika :
·         tidak ada yang  tampil sebagai ahli waris
·         Semua ahli waris menolak
Pasal 1127 KUHPer
Demi hukum, BHP wajib mengurus harta tersebut pada saat awal pengurusannya harus memberitahu kejaksaan
Pasal 1128 KUHPer
Kewajiban BHP :
1.      Dalam hal dianggap perlu, menyegel Harta Peninggalan (HP)
2.      Membuat daftar tentang HP
3.      Membayar hutang pewaris
4.      Menyelesaikan Legaat
5.      Membuat pertanggungjawaban
Pasal 1129 KUHPer
Lewat jangka waktu 3 tahun terhitung mulai terbukanya warisan, tidak ada ahli waris yang tampil, BHP harus membuat perhitungan penutup pada negara “Negara berhak menguasai harta peninggalan”

2.      Mewaris berdasarkan Testamen (Wasiat)
Di dalam KUHPerdata mengenal peraturan wasiat ini dengan nama Testament.Pasal 875 BW mengartikan surat wasiat adalah suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia dan dapat dicabut kembali[6].
Untuk kata wasiat dapat juga dipergunakan “ amanat terakhir “ dalam arti apa yang dikehendakinya akan berlaku sesudah ia meninggal dunia sesuai dengan apa yang ia tetapkan.
Salah satu ciri dan sifat yang terpenting dan khas dalam surat wasiat yaitu surat – surat wasiat selalu dapat ditarik kembali oleh si pembuatnya, hal ini disebabkan tindakan membuat surat wasiat adalah merupakan perbuatan hukum yang sifatnya sangat pribadi. Hal ini berarti bahwa perbuatan ini tidak dapat disuruh ia lakukan oleh seseorang wakil.
Arti Testamen (Pasal 875 KUHPer), suatu akta yang memuat tentang apa yang dikehendaki terhadap harta setelah ia meninggal dunia dan dapat dicabut kembali
Unsur – Unsur Testament
a.       Akta
b.      Pernyataan kehendak
c.       Apa yang akan terjadi setelah ia meninggal terhadap akta
d.      Dapat dicabut kembali
Syarat membuat Testament
a.       Dewasa
b.      Akal sehat
c.       Tidak dapat pengampuan
d.      Tidak ada unsur paksaan, kekhilafan, kekeliruan
e.       Isi harus jelas
Isi Testament
a.       Erfstelling (Pasal 954 KUHPer)
Testamentair erfgenaam
b.      Legaat (Pasal 957 KUHPer)
Legetaris
c.       Codicil (tidak berhubungan dengan harta)
Pencabutan Testament
a.       Secara tegas, jika dibuat wasiat baru yang isinya mengenai pencabutan surat wasiat
b.      Secara diam – diam, dibuat testament baru yang memuat pesan – pesan yang bertentangan dengan testament lama

D.    Penggolongan Ahli Waris
Ahli waris adalah sekumpulan orang atau seorang atau individu atau kerabat-kerabat atau keluarga yang ada hubungan keluarga dengan simeninggal dunia dan berhak mewarisi atau menerima harta peninggalan yang ditinggal mati oleh seseorang (pewaris). Menurut Pasal 832 pasal ini mengandung prinsip dalam hukum waris ab intestate yaitu ysng berhak mewarisi adalah:
Keluarga sedarah dan istri (suami) yang hidup, dan jika semuanya ini tidak ada, maka yang berhak mewarisi ialah negara. Mengenai keluarga sedarah dan istri (suami) yang hidup paling lama, dapat diadakan 4 golongan yaitu:
1.      Anak, atau keturunanya dan janda atau duda.
2.      Orang tua (bapak atau ibu), saudara-saudara atau keturunannya.
3.      Nenek dan kakek, atau leluhur lainnya di dalam genus ke atas.
4.      Sanak keluarga di dalam garis ke samping sampai tingkat ke-6.
Kalau semuanya itu tidak ada, maka negara menjadi waris. Pasal-pasal yang berikut ini menetapkna jumlah jumlah bagian warisan bagi tiap-tiap golongan[7].
a.       Golongan 1, Pasal  852:
Seorang anak biarpun dari perkawinan yang berlain-lainan atau waktu kelahiran, laki atau perempuan mengandung bagian yang sama.
b.      Golongan 2, Pasal 854 :
Jika golongan 1 tidak ada, maka yang berhak mewaris ialah bapak, ibu, dan saudara.
c.       Golongan 3, Pasal 853 ayat 1:
Jika waris golongan 1 dan garis golongan 2 tidak ada , maka warisan dibelah menjadi dua bagian yang sama.
d.      Golongan 4, Pasal 858 ayat 2
Kalau waris golongan 3 tidak ada maka bagian yang jatuh pada tiap garis sebagai tersebut dalam 853 dan 858 ayat 2 , warisan jatuh pada seorang waris yang terdekat pada tiap garis.

E.     Bagian Anak Luar Kawin
Anak luar perkawinan, yaitu anak yang telah dilahirkan sebelum kedua suami istri itu menikah atau anak yang diperoleh salah seorang dari suami atau istri dengan orang lain sebelum mereka menikah. Anak luar perkawinan ini terbagi atas[8] :
1.      Anak yang disahkan, yaitu anak yang dibuahkan atau dibenihkan di luar perkawinan, dengan kemudian menikahnya bapak dan ibunya akan menjadi sah, dengan pengakuan menurut undang – undang oleh kedua orang tuanya itu sebelum pernikahan atau atau dengan pengakuan dalam akte perkawinannya sendiri.
2.      Anak yang diakui, yaitu dengan pengakuan terhadap seorang anak di luar kawin, timbullah hubungan perdata antara si anak dan bapak atau ibunya tau dengan kata lain, yaitu anak yang diakui baik ibunya saja atau bapaknya saja atau kedua – duanya akan memperoleh hubungan kekeluargaan dengan bapak atau ibu yang mengakuinya. Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat dilakukan dalam akte kelahiran anak atau pada saat perkawinan berlangsung atau dengan akta autentik atau dengan akta yang dibuat oleh catatan sipil.
Menurut pasal 693, hak waris anak yang diakui; 1/3 bagian sekiranya ia sebagai anak sah, jika ia mewaris bersama – sama dengan ahli waris golongan pertama, ½ dari harta waris jika ia mewaris bersama – sama dengan golongan kedua, ¾ dari harta waris jika ia mewaris bersama dengan sanak saudara dalam yang lebih jauh atau jika mewaris dengan ahli waris golongan ketiga dan keempat, mendapat seluruh harta waris jika si pewaris tidak meninggalkan ahli wari yang sah.
Jika anak diakui ini meninggal terlebih dahulu, maka anak dan keturunannya yang sah berhak menuntut bagian yang diberikan pada merka menurut pasal 863, 865.
3.      Anak yang tidak dapat diakui, terdiri atas; anak zina ( anak yang lahir dari orang laki – laki dan perempuan, sedangkan salah satu dari mereka itu atau kedua – duanya berada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain ), anak sumbang ( anak yang lahir dari orang laki – laki dan perempuan, sedangkan diantara mereka terdapat larangan kawin atau tidak boleh kawin karena masih ada hubungan kekerabatan yang dekat. Untuk kedua anak ini tidak mendapatkan hak waris, mereka hanya mendapatkan nafkah seperlunya.
Diakui Pasal 862 – 863 KUHPer[9]
1.      Bersama golongan I : 1/3 bagian anak sah
2.      Bersama golongan II : ½  harta peninggalan
3.      Bersama golongan III : ¾ harta peninggalan

F.     Bentuk dan Isi Wasiat
Didalam penjelasan Pasal 49 Ayat (c) UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang dimaksud dengan wasiat adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/ badan hukum yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggalkan dunia[10].
Perbuatan penetapan pesan terakhir si wafat di Indonesia disebut dengan hibah wasiat, yang berasal dari bahasa Arab dalam hukum agama Islam. Sedangkan dalam bahasa Belanda disebut testament, yaitu suatu akta yang berisi pernyataan seseorang tentang apa yang terjadi setelah ia meninggal, dan yang olehnya dapat ditarik kembali (lihat Pasal 875 BW). Dengan demikian maka tastement merupakan suatu akta / keterangan yang dibuat sebagai pembuktian dengan campur tangan seorang pejabat resmi.[11] Jike testament tersebut menetapkan penghibahan barang tertentu, dipakailah sebutan legaat sedang sebutan erfstelling dipergunakan untuk penghibahan semua harta warisan atau bagian tertentu (seperberapa) atas harta warisan terhadap seseorang tertentu.[12]

1.      Bentuk Wasiat
Bentuk wasiat dan pembatasannya, secara umum, ada empat macam bentuk wasiat yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yaitu :
a.       Wasiat Rahasia (Geheim), yaitu wasiat yang dibuat dengan dihadiri oleh 4 orang saksi. Wasiat tidak harus ditulis tangan oleh (calon) pewaris, namun harus ditandatangani sendiri oleh sipembuat wasiat disertai pernyataan bahwa kertas/ sampul itu berisi wasiatnya.
b.      Wasiat Umum (Openbaar Testament), yaitu wasiat yang dibuat dihadapan notaris dan dua saksi (Pasal 938 BW). Dalam wasiat tersebut, pembuat wasiat menyatakan kehendaknya menganai pembagian harta miliknya.[13]
c.       Wasiat ditulis Sendiri (Olografis), yaitu wasiat yang seluruhnya ditulis dan ditandatangani sendiri oleh sipembuat wasiat (Pasal 932 Ayat 1 BW). Agar wasiat dapat diketahui secara umum, pembuat wasiat membawa asli surat wasiat yang dibuat sendiri tersebut kehadapan notaris untuk disimpan.
d.      Wasiat Darurat (Pasal 946, 947, dan 948 BW), yaitu wasiat yang dibuat oleh tentara (dalam keadaan perang) orang yang sedang berlayar, atau orang yang sedang dikarantina karena penyakit menular. Wasiat ini dibuat dihadapan atasanya karena sicalon pewaris dalam keadaan sakaratul maut atau akan meninggal dunia. Namuk demikian, wasiat ini sekarang sudah tidak dipakai lagi.[14]
Syarat-syarat bagi pembuat testament menurut KUHPerdata, bagi pembuat testament ada disyaratkan hal-hal sebagai berikut :
a.       Pasal 895 KUH Perdata menyebutkan bahwa :
“untuk dapat membuat atau mencabut surat wasiat, seseorang harus mempunyai budi akalnya”. Jadi si pembuat testament tidak sedang dalam sakit ingatan atau sedang dalam keadaan sakit begitu berat dan karena mana ia tidak dapat berfikir secara teratur.
b.      Pembuat testament harus sudah genap berusia 18 tahun, atau sudah menikah sebelum usia 18 tahun. Hal ini dimuat dalam pasal 867 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut:
“para belum dewasa yang belum mencapai umur genap delapan belas tahun, tak diperbolehkan membuat surat wasiat”.
Apabila orang yang membuat wasiat melanggar pasal 897 KUH Perdata, wasiat yang demikian dapat dimintakan pembatalan oleh orangtua/wali dari orang yang belum dewasa tersebut. Pembatalan dapat diminta pada waktu ia masih hidup atau pada waktu ia meninggal. Pasal 898 KUH pdt menyebutkan bahwa ditinjau dari kedudukan dalam mana ia berada, tatkala surat wasiat dibuatnya.[15]

2.      Wasiat menurut Isinya
Menurut isinya, maka ada 2 jenis wasiat :
a.       Wasiat yang berisi ” erfstelling ” atau wasiat pengangkatan waris. Seperti disebut dalam pasal 954 wasiat pengangkatan waris, adalah wasiat dengan mana orang yang mewasiatkan, memberikan kepada seorang atau lebih dari seorang, seluruh atau sebagian ( setengah, sepertiga ) dari harta kekayaannya, kalau ia meninggal dunia. Orang–orang yang mendapat harta kekayaan menurut pasal itu adalah waris di bawah titel umum.
b.      Wasiat yang berisi hibah ( hibah wasiat ) atau legaat. Pasal 957 memberi keterangan seperti berikut : ” Hibah wasiat adalah suatu penetapan yang khusus di dalam suatu testament, dengan mana yang mewasiatkan memberikan kepada seorang atau beberapa orang; beberapa barang tertentu, barang – barang dari satu jenis tertentu, hak pakai hasil dari seluruh atau sebagian dari harta peninggalannya. Orang – orang yang mendapat harta kekayaan menurut pasal ini disebut waris di bawah titel khusus.

G.    Legitierne Portie
Legitieme Portie merupakan bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada ahli waris yang berada dalam garis lurus menurut undang-undang. Jadi legitimaris dalam hal ini hanya ahli waris yang menurut undang-undang berada dalam garis lurus ke atas atau ke bawah. Perhatikan kembali mengenai penggolongan ahli waris menurut KUH Perdata.[16]
Bertolak dari ketentuan Pasal 913 KUH Perdata, pewaris tidak diperkenankan menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup maupun selaku wasiat. Adanya ketentuan mengenai legitieme portie ini memang dimaksudkan agar ahli waris legitimaris terlindungi dan tidak dirugikan apabila si pewaris hendak bertindak sewenang-wenang.
Hal Penting Terkait Legitieme Portie
Legitieme portie harus selalu dituntut, jika tidak dituntut maka tidak diperoleh legitieme portie. Apabila terdapat lebih dari satu legitimaris, maka tidak saling mengikat. Setiap legitimaris berhak untuk menuntut atau bahkan melepaskan legitieme portie nya tanpa bersama-sama dengan legitimaris lainnya. Maksudnya dapat dicontohkan sebagai berikut. Jika ada empat legitimaris, namun yang menuntut legitieme portie hanya satu orang, maka yang akan mendapatkan legitieme portie hanya yang menuntut tersebut. Begitu pula, jika hanya ada salah satu atau beberapa yang melepaskan legitieme portie nya, maka yang lain tetap berhak jika ingin menuntut legitieme portie nya. Yang perlu menjadi catatan adalah, apabila pewaris mengangkat seorang ahli waris dengan wasiat untuk seluruh harta peninggalannya, lalu ada legitimaris yang tidak menuntut bagian mutlaknya, maka bagian legitimaris yang tidak menuntut tersebut tetap menjadi bagian ahli waris yang ditunjuk menurut wasiat tersebut.
Penuntutan terhadap legitieme portie dapat dilakukan terhadap segala macam pemberian yang telah dilakukan oleh si pewaris, baik berupa erfstelling, hibah wasiat, atau hibah. Jika melihat ketentuan Pasal 920 KUH Perdata, maka penuntutan terhadap legitieme portie baru dapat dilakukan terhadap hibah atau hibah wasiat yang mengakibatkan berkurangnya bagian mutlak dalam suatu harta peninggalan setelah warisan terbuka.
















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Perbandingan waris dalam hukum waris islam, hukum perdata barat (BW, terdapat beberapa persamaan dan perbedaan pengaturan waris. Dalam hal persamaan terdapat sepuluh persamaan yaitu mengenai keadaan masyarakat dan pengaruh politik hukum terhadap hukum waris, persamaan pengertian perwarisan, tujuan perwarisan, konsep harta warisan harus sudah bersih, unsur-unsur pewarisan, sifat komulatif, sistematika unsur, konsep harta, sistim pewarisan/pembagian, dan terbukanya warisan setelah adanya kematian, namum tidak menutup kemungkinan masih ada hal-hal lain yang sama dan masih belum dituliskan oleh penulis. Sedangkan untuk perbedaannya terdapat 22 perbedaan hal itupun masih dirasa kurang oleh penulis.
Sedangkan dalam Perbandingan Pengaturan Waris menurut Hukum Islam.Pengertian pewarisan,Tujuan Pewarisan, Unsur-unsur pewarisan, Sifat kumulatif, Konsep Harta, Sistim pewarisan/ pembagian,  dan terdapat 20 perbedaan.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam pengaturan waris di Indonesia terdapat bermacam-macam pengaturan perwarisan, maka dari itu pemerintah menyerahkan urusan perwarisan terserah pada hukum masing-masing golongan.

B.     Saran                                                                                   
Untuk masalah waris di serahkan sepenuhnya pada hukum masing-masing golongan, diharapkan dalam pembgian waris ini harus adil, meskipun adil itu berbeda-beda pemahamannya.
Untuk anggota keluarga yang bukan ahli waris seperti anak angkat, dan kerabat yang lain diharapkan tetap mendapatkan warisan seperti dalam pengaturan dalam KHI yaitu wasiat wajibah.


DAFTAR PUSTAKA

Affandi, Ali. 1997. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian. Rineka Cipta, Jakarta.

Ahmad Rafiq. 2000. Hukum Islam di Indonesia. Cet. Ke-4. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

            2001. Fiqh Mawaris. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta

Muslich Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris (Asas Mawaris), Semarang, 2010.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)

Tedjosaputro, Liliana. 2006.Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Aneka Ilmu Anggota Ikalpi. Semarang,

Wiryono Projodikoro.1983. Hukum Warisan di Indonesia, Bandung: Sumur.

http://statushukum.com/hukum-waris-islam.html (diakses tanggal 14 Juni 2016)



JIKA ARTIKEL ATAU MAKALAH TIDAK BISA DI COPY KLIK LINK DIBAWAH INI 
Link : download1





[1]Affandi, Ali. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian. Rineka Cipta, Jakarta. 1997. hlm. 20
[2]Muslich Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris (Asas Mawaris), Semarang, 2010. hlm. 1
[3]Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)
[4]Ibid,
[5]Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)
[6]Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)
[7]Ahmad Rafiq, Fiqh Mawaris, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2001, hlm. 4
[8]Ahmad Rafiq, Fiqh Mawaris, op. cit , hlm. 29
[9]Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cet. Ke-4, 2000, hlm. 355
[10]Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cet. Ke-4, 2000, hlm. 355
[11]ibid
[12]Muslich Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris (Asas Mawaris), Semarang, t.th. hlm.1
[13]Wiryono Projodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung: Sumur, 1983. hlm.13
[14]Ahmad Rafiq, Fiqh Mawaris, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2001, hlm. 4
[15]Ibid.,
[16]Tedjosaputro, Liliana.Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Aneka Ilmu Anggota Ikalpi. Semarang, 2006, hlm.290

1 comment for "Makalah Hukum Perdata - HUKUM WARIS"

Post a Comment