MAKALAH FIQH MAWARIS - MACAM-MACAM ASHABAH
Makalah : Fiqh Mawaris
MACAM-MACAM ASHABAH
DI
S
U
U
S
U
N
OLEH :
NAMA : FADHLURRAHMAN
HASAN
NIM : 150104082
JURUSAN : HUKUM
PIDANA ISLAM
DOSEN PEMBIMBING
H.EDI DARMAWIJAYA, S,Ag., M.Ag
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM – BANDA ACEH
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Waris dalam bahasa Indonesia disebut
juga dengan pusaka. Maksudnya adalah harta, benda dan hak yang ditinggalkan
oleh orang yang mati (meninggal) untuk dibagikan kepada yang berhak
menerimanya. Dalam hal ini, orang yang meninggalkan harta bendanya disebut
sebagai pewaris, sedangkan orang yang menerima harta tersebut disebut dengan
ahli waris.
Pembagian waris ini lazim
disebut faraidh, artinya menurut syara’ ialah pembagian harta
pusaka/warisan kepada beberapa orang ahli waris seperti yang tercantum dalam
Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qias. Ketentuan bagian-bagian yang harus diterima
oleh pewaris telah diatur oleh Allah SWT, begitu juga halnya dengan orang-orang
yang berhak menerima warisan. Bagian-bagian yang diterima oleh pewaris yang
telah ditetapkan oleh Al-Quran yaitu: ½ (setengah), ¼ (seperempat), 1/8
(seperdelapan), 1/3 (sepertiga), 2/3 (duapertiga) dan 1/6 (seperenam).
Orang-orang yang berhak menerima warisan dikelompokkan ke dalam tiga kelompok,
yaitu: ashabul furudh, ashobah dan dzawil arham.
Pada pembahasan ini, penulis hanya
membahas tentang ashabah, yaitu orang orang-orang yang mendapatkan
sisa dari harta peninggalan simayit setelah ashabul furudh mengambil
harta bagian-bagian yang telah ditentukan bagi ashabul furudh tersebut
dan pembagiannya tidak ditetapkan dalam salah satu enam macam pembagian warisan
sebagaimana yang dijabarkan di atas.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
permasalahan yang akan dibahas mencakup:
1.
Apakah yang dimaksud dengan ashabah ?
2.
Apa dasar hukum ashabah?
3.
Bagaiamana susunan ahli waris ashabah ?
4.
Macam-macam ashabah ?
C. Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini
adalah:
1.
Untuk mengetahui pengertian ashabah.
2.
Untuk mengetahui apa dasar
hukum ashabah
3.
Untuk mengetahui susunan ahli waris ashabah.
4.
Untuk mengetahui macam-macam ashabah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ashabah
Ashabah adalah
orang-orang yang mendapatkan sisa harta dari peninggalan simayit setelah ashabul
furud bagian-bagian yang telah ditentukan bagi mereka dan pembagiannya
tidak ditetapkan dalam salah satu dari enam macam pembagian harta warisan yang
telah ditetapkan oleh Al-Quran. Singkatnya, yang dimaksud
dengan ashabah adalah keluarga laki-laki yang dekat dari pihak
ayah. Apabila tidak ada sisa harta dalam setelah ashabul furudh menerima
bagiannya maka ashabah tidak mendapatkan apa-apa.
Ahli waris ashabah ini
harus menunggu sisa pembagian dari ahli waris yang telah ditentukan bagiannya,
dan keistimewaaan ashabah ini ia dapat menghabiskan
seluruh sisa harta simayit, apabila ahli waris yang ditentukan bagiannya sudah
mengambil apa yang menjadi hak-nya.[1]
Adapun bagian yang akan diperoleh
oleh ahli waris ashobah dapat terjadi sebagai berikut:
1.
Mendapat seluruh harta warisan si mayit, dengan syarat
si mayit hanya meninggalkan ahli waris dia sendiri.
2.
Berbagi sama di antara para ashobah, apabila
si mayit meninggalkan beberapa ashobah yang sederajat.
3.
Mendapat seluruh sisa lebih dari ahli waris, apabila
si mayit meninggalkan ahli waris yang menurut ketentuan hukum mendapat bagian
tertentu.
4.
Mendapat dua bagian yang laki-laki dan yang perempuan
mendapat satu bagian apabila di dalamnya ada perempuan yang sederajat.
5.
Apabila harta warisan sudah terbagi habis oleh ahli
waris yang telah tertentu bagian, maka ashobah tidak mendapat
bagian sama sekali.
Berdasarkan penjabaran di atas,
dapat disimpulkan bahwa ahli warisashabah menerima harta warisan di
antara dua, yaitu menerima seluruh harta warisan atau menerima sisa harta
setelah dibagikan kepada ahli warisashabul furudh.
Dalil Al-Quran yang menyatakan bahwa
para ashabah mendapatkan harta waris adalah surah An-nisa’
ayat 176:
يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ
اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ ۚ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ
أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ ۚ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ
ۚ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ ۚ وَإِنْ كَانُوا
إِخْوَةً رِجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۗ يُبَيِّنُ
اللَّهُ لَكُمْ أَنْ تَضِلُّوا ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya: “Mereka
meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang
laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai
anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli
waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian
seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah
menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu”.
Pada
surah An-nisa’ ayat 176 di atas tidak disebutkan bagian saudara kandung. Namun,
yang disebutkan justru saudara kandung akan menguasai (mendapatkan bagian)
seluruh harta peninggalan yang ada bila ternyata pewaris tidak mempunyai
keturunan.[2]
B. Dasar Hukum Ashabah
Dasar hukum
ashabah dijelaskan pada Al-qur’an dan Hadist
1.
Al-qur’an
Dalil
Al-Qur’an yang dimaksud ialah
Artinya: “dan untuk dua orang ibu bapak, bagi
masing-masingnya
seperenam
dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika
orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya
(saja), maka ibunya mendapat sepertiga” (an-Nisa’: 11).
Dalam ayat
ini disebutkan bahwa bagian kedua orang tua (ibu dan bapak) masing-masing
mendapatkan seperenam (1/6) apabila pewaris mempunyai keturunan. Tetapi bila
pewaris tidak mempunyai anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadi milik
kedua orang tua. Ayat tersebut juga telah menegaskan bahwa bila pewaris tidak
mempunyai anak, maka ibu mendapat bagian sepertiga (1/3). Namun, ayat tersebut
tidak menjelaskan berapa bagian ayah. Dari sini dapat kita pahami bahwa sisa
setelah diambil bagian ibu, dua per tiganya (2/3) menjadi hak ayah. Dengan
demikian, penerimaan ayah disebabkan ia sebagai ‘ashabah.
Dalil Al-Qur’an yang lainnya ialah
(artinya) “jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua
dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai
(seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak.” (an-Nisa’:
176).
Pada ayat ini tidak disebutkan bagian saudara kandung.
Namun, yang disebutkan justru saudara kandung akan menguasai (mendapatkan
bagian) seluruh harta peninggalan yang ada bila ternyata pewaris tidak
mempunyai keturunan. Kemudian, makna kalimat “wahuwa yaritsuha” memberi isyarat
bahwa seluruh harta peninggalan menjadi haknya. Inilah makna ‘ashabah.
2.
Hadist
Sedangkan
dalil dari As-Sunnah adalah apa yang disabdakan Rasulullah saw:
Artinya: “Bagikanlah harta peninggalan (warisan)
kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang paling
utama.” (HR Bukhari)
Hadits ini menunjukkan perintah
Rasulullah saw. agar memberikan hak waris kepada ahlinya. Maka jika masih
tersisa, hendaklah diberikan kepada orang laki-laki yang paling utama dari
‘ashabah.
Ada satu keistimewaan dalam hadits
ini menyangkut kata yang digunakan Rasulullah dengan menyebut “dzakar” setelah
kata “rajul”, sedangkan kata “rajul” jelas menunjukkan makna seorang laki-laki.
Hal ini dimaksudkan untuk menghindari salah paham, jangan sampai menafsirkan
kata ini hanya untuk orang dewasa dan cukup umur. Sebab, bayi laki-laki pun
berhak mendapatkan warisan sebagai ‘ashabah dan menguasai seluruh harta warisan
yang ada jika dia sendirian. Inilah rahasia makna sabda Rasulullah saw. dalam
hal penggunaan kata “dzakar”.
C. Susunan Ahli
Waris Ashabah
Ahli waris yang masuk golongan ashabah ada
14 (empat belas) golongan, yaitu:[3]
1.
Anak laki-laki.
2.
Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki)
terus ke bawah.
3.
Ayah.
4.
Kakek laki-laki terus ke atas.
5.
Saudara laki-laki kandung.
6.
Saudara laki-laki se-ayah.
7.
Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung.
8.
Anak laki-laki dari saudara laki-laki se-ayah.
9.
Paman kandung.
10.
Paman se-ayah.
11.
Anak laki-laki dari paman laki-laki kandung.
12.
Anak laki-laki dari paman laki-laki se-ayah.
13.
Laki-laki yang memerdekakan.
14.
Perempuan yang memerdekakan.
D. Macam-Macam Ashabah
Para ulama membagi ashabah dalam tiga
kategori, yaitu: [4]
1.
Ashabah bi nafsih, yaitu orang
yang menjadi ashabah disebabkan oleh dirinya sendiri,
maksdunya adalah ashabah yang menjadi ashabah disebabkan
karena kedudukannya. Ashabah bi nafsih merupakan semua
laki-laki yang nasabnya dengan orang yang meninggal tidak diselangi oleh
perempuan. Mereka adalah :
a. Anak
laki-laki
b. Cucu
laki-laki dari pihak anak laki-laki
c. Ayah
d. Kakek
dari pihak ayah
e. Suadara
laki laki sekandung
f. Saudara
laki-laki seayah
g. Anak
laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
h. Anak
laki- laki dari saudara laki-laki seayah
i. Paman
sekandung
j. Paman
seayah
k. Anak
laki-laki dari pihak paman sekandung
l. Anak
laki-laki dari pihak paman seayah
m. Mu’tiq
(orang laki-laki yang memerdekakan budak)
n. Ashabah
mu’tiq
Dalam pengertian lain ashabah bi nafsi adalah
setiap laki-laki yang antara dia dan si mayyit tidak ada ahli waris perempuan,
atau yang langsung berlangsung dengan si mayyit tanpa ada hubungan ahli waris
perempuan. Dalil warisnya adalah firman Allah SWT
Artinya: “….. jika yang meninggal itu tidak
memiliki anak dan ia diwarisi oleh kedua orang tuanya (ibu bapak) maka ibu
memperoleh 1/3 (QS. An-Nisa’: 11).
Kondisi ahli waris ashabah bi nafsi ada
tiga, yaitu mendapatkan semua harta jika ia hanya sendirian, mendapatkan sisa
bagian setelah dibagi-bagikan kepada ashabul furud, dan jika
seluruh warisan habis dibagikan, ia tidak mendapatkan warisan.
1. Ashib mendapat
seluruh warisan jika ia hanya sendirian. Contoh pertama, seseorang wafat
meninggalkan ayah dalam hal ini ayah mendapat semua harta warisan sebagai ashabah, contoh
kedua seseorang wafat meninggalkan ayah dan saudara kandung laki-laki dalam hal
ayah mendapatkan semua harta warisan, sedangkan saudara kandung laki-laki
terhalang oleh (mahjub).
2. Ashib
mendapatkan sisa warisan, setelah warisan itu dibagi-bagikan kepada ashabul
furud lebih dahulu. Contohnya seseorang wafat meninggalkan ibu dan
ayah dalam hal ini ibu memperoleh 1/3 dari harta warisan sedangkan ayah
memperoleh sisanya.
3. Jika harta
warisan telah habis dibagi kepda yang berhak, ashabah tidak
mendapatkan harta warisan. Contohnya seseorang wafat meninggalkan saudara
kandung perempuan dan saudara perempuan se ayah, dua saudara perempuan se ibu,
dan paman dalam hal ini saudara kandung perempuan memperoleh ½ bagian dari
harta warisan sedangkan saudara perempuan seayah memperoleh 1/6 untuk melenkapi
2/3, dua saudara perempuan se ibu memperoleh 1/3 bagian sedangkan paman
sebagai ashabah tidak memperoleh harta warisan. [5]
2. Ashabah bil ghairi,
yaitu orang yang menjadi ashabah karena orang lain, dan mereka sama-sama
menerima ashabah. Mereka adalah;
a. Anak
perempuan bersama dengan anak laki-laki
b. Cucu
perempuan bersama dengan cucu laki-laki
c. Saudara
perempuan sekandung bersama dengan saudara laki-laki sekandung
d. Saudara
perempuan seayah berama dengan saudara laki-laki seayah
Contoh kasus
a :
Seseorang
wafat meninggalkan seorang anak kandung laki-laki dan seorang anak kandung
perempuan, dalam hal ini seluruh harta warisan dibagi diantara mereka berdua,
sebagai ashabah dengan ketentuan bagian laki-laki adalah dua
kali lipat bagian perempuan.
Conotoh
kasus b:
Seseorang
wafat maninggalkan cucu laki-laki dan dua cucu perempuan, dalam hal ini harta
warisan menjadi milik mereka berdua sebagai ashabah dengan
ketentuan bagian laki-laki adalah dua kali lipat bagian perempuan.
Contoh kasus
c:
Seseorang
wafat meninggalkan saudara kandung laki-laki dan perempuan, dala hal ini harta
warisan menjadi milik mereka berdua, sebagai ashabah dengan
ketentuan bagian laki-laki adalah dua kali lipat dari bagian perempuan.
Contoh kasus
d:
Seseorang
wafat meninggalkan saudara laki-laki seayah dan saudara perempuan seayah, dalam
hal ini harta warisan menjadi milik mereka berdua sebagai ashabah dengan
ketentuan laki-laki adalah dua kalilipat bagian perempuan.
Ketentuan
yang berlaku, apabila mereka bergabung menerima bagian ashabah maka
bagian ahli waris laki-laki adalah dua kali bagian perempuan. Dasar hukumnya
terdapat dalam firman Allah:
Artinya: “Allah telah menetapkan bagian
warisan anak-anakmu untuk seorang anak laki-laki sama dengan dua orang anak
perempuan” (QS. An-Nisa’: 11).
Ashabah bil
ghair memilik dua sisi yaitu,
1.
Ashabah, yaitu wanita yang memiliki hak waris
setengah dari harta warisan jika ia sendiri atau dua sepertiga jika ia berdua
atau lebih
2.
Ghair, yaitu laki-laki yang bergabung
bersama wanita karena berada pada derajat yang sama dan memiliki hubungan
kekerabatan yang sangat kuat.
Adapun
beberapa contoh dari ashabul bil ghair yaitu:
1.
Seseorang wafat meninggal anak perempuan, ibu, dan
paman, dalam hal ini anak perempuan memperoleh ½ dari harta warisan, ibu
memperoleh 1/6 berdasarkan furudh dan paman mendapatkan
sisanya ashabah
2.
Seseorang wafat meninggalkan 2 anak perempuan, istri,
dan paman, dalam hal ini dua anak perempuan memperoleh 2/3 bagian berdasarkan
ketentuan furudh, istri mendapatkan 1/8 bagian berdasarkan
ketentuan furudh, dan paman mendapatkan sisanya ashabah.
3.
Seseorang wafat meninggalkan ayah, ibu, anak
laki-laki, dan anak perempuan dalam hal ini, ayah memperoleh 1/6 bagian
berdasarkan ketentuan furdh, ibu memperoleh 1/6 bagian berdasarkan
ketentuan furudh, dan anak laki-laki dan anak perempuan
mendapatkan sisanya sebagai ashabah dengan ketentuan
bagian kali-laki adalah dua kali lipat bagian perempuan.[6]
Dalam pengertian
lain ashabah bil ghair adalah warisan dengan kaidah bagian
laki-laki adalah dua kali lipat bagian perempuan. Dalam penjelasan kedua ashabah
bil ghair adalah setiap wanita yang berhak memperoleh setengah dari
harta warisan jika ia hanya sendirian atau 2/3 jika berdua atau lebih.
3. Ashabah ma’al ghairi,
yaitu orang yang menjadi ashabah karena orang lain, tetapi orang lain itu tidak
menerima ashabah. Mereka adalah:
a. Saudara
perempuan sekandung, jika bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari
anak laki-laki.
b. Saudaara
perempuan seayah, jika bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari
anak laki-laki
Contoh kasus
a:
Seseorang
wafat meninggalkan seorang anak perempuan cucu perempuan dan saudara kandung
perempuan, dalam hal ini seorang anak perempuan memperoleh ½ dari harta
warisan, cucu perempuan memperoleh 1/6 dari harta warisan untuk melengkapi 2/3,
dan saudara kandung perempuan memperoleh sisa sebagai ashabah
Contoh kasus
b :
Seorang
wanita wafat meninggalkan suami, ibu, dua anak perempuan, dan saudara perempuan
seayah, dalam hal ini suami memperoleh ¼ dari harta warisan, ibu memperoleh 1/6
dari harta warisan, dua anak perempuan memperoleh 2/3 bagian.
Dari contoh
diatas dapat diketahui bahwa ashabah ma’al ghair memiliki dua
kondisi dalam warisan:
1.
Ia mewarisi apa yang tersisa setelah ashabul
furud sebagai mana dalam contoh pertama.
2.
Ia tidak mewarisi apapun. Hal itu terjadi jika seuruh
harta warisan telah habis dibagikan kepada asbabul furud.
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Ashabah adalah
orang-orang yang mendapatkan sisa harta dari peninggalan simayit setelah ashabul
furud bagian-bagian yang telah ditentukan bagi mereka dan pembagiannya
tidak ditetapkan dalam salah satu dari enam macam pembagian harta warisan yang
telah ditetapkan oleh Al-Quran. Singkatnya, yang dimaksud
dengan ashabah adalah keluarga laki-laki yang dekat dari pihak
ayah. Dalil mengenai ashabahterdapat dalam surah An-nisa’ ayat 176.
Dasar hukum
ashabah dijelaskan pada Al-qur’an dan Hadist. Al-quran surah An-Nisa’ ayat 11 dan An-Nisa’ 176 Sedangkan Hadist yang
diriwayatkan oleh HR Bukhari.
Ahli waris
yang masuk golongan ashabah ada empat belas golongan, yaitu:
Anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki) terus ke
bawah, ayah, kakek laki-laki terus ke atas, saudara laki-laki kandung dll.
Macam-macam
ashabah menurut para Ulama membagi ashabah dalam tiga kategori
1.
Ashabah bi nafsih yaitu orang yang menjadi ashabah disebabkan
oleh dirinya sendiri, maksdunya adalah ashabah yang
menjadi ashabah disebabkan karena kedudukannya. Ashabah bi
nafsih merupakan semua laki-laki yang nasabnya dengan orang yang
meninggal tidak diselangi oleh perempuan
2.
Ashabah
bil ghairi yaitu orang yang menjadi ashabah karena
orang lain, dan mereka sama-sama menerima ashabah
3.
Ashabah
ma’al ghairi yaitu orang yang menjadi ashabah karena
orang lain, tetapi orang lain itu tidak menerima ashabah
DAFTAR PUSTAKA
Ali Ash-shabuni, Muhammad, 2013, Hukum waris Dalam Islam, Palapa Alfa Utama, Depok.
Khairuddin
Dan Zakiul Fuadi, 2014, Belajar Praktis
Fikih Mawaris, Banda Aceh.
Rifa’i, Mohammad, 1978, Ilmu
Fiqh Islam Lengkap, Toha Putra, Semarang.
Surahwardi K. Lubis, dan Simanjuntak Komis, 2004, Hukum Waris Islam, Sinar Grafika, Jakarta.
Thaha Abul Ela Khalifah, Muhammad, 2007, Hukum Waris Cetakan 1, Tiga Serangkai, Solo.
[1] Surahwardi K. Lubis dan Komis simanjuntak, Hukum Waris Islam,(Jakarta:
Sinar Grafika, 2004), hal. 96.
[4] Ash-shabuni, pembagian waris...,
hlm. 60-73. Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma’rif,1994) hlm. 339-347.
Dian Kairul Umam, Fiqh Mawaris, hlm. 75-94. Amir Syarifuddin, hukum Kewarisan,
hlm. 233-249.
[6] Ibid, hal 409
No comments for "MAKALAH FIQH MAWARIS - MACAM-MACAM ASHABAH"
Post a Comment